Dari sebuah relief yang terpahat di dinding Candi Borobudur
lalu dibuat menjadi wujud nyata. Dengan menempuh jarak sejauh 12.210
mil perjalanan dari Indonesia ke Ghana Afrika, Samudraraksa adalah
sebuah mimpi yang menjadi nyata.
Matahari pagi yang menyembul diantara pelepah kelapa memantulkan
kemilau yang begitu hangat di hari Sabtu bulan Juni itu. Layaknya
kehangatan yang tercium dari aroma kayu manis di kawasan Museum Kapal
Samudraraksa yang berada dalam satu komplek dengan Candi Borobudur,
candi Buddha terbesar di dunia yang terdaftar dalam warisan budaya dunia
nomor 592. Sebuah museum yang mengabadikan pelayaran bersejarah kapal
Samudraraksa dari Indonesia menuju Afrika untuk menapaki kembali jalur
perdagangan rempah-rempah yang dilakukan bangsa Indonesia berabad-abad
lampau.
Samudraraksa yang berarti pelindung samudra, adalah nama yang
diberikan mantan Presiden Republik Indonesia Megawati Soekarnoputri
untuk replika relief kapal pada dinding candi Buddha terbesar di dunia
itu. “Reliefnya terletak pada panil nomor enam bidang C lorong satu sisi
utara,” kata Sutanto (35), guide wisata yang pagi itu memandu rombongan SD Kemuning 1 Tarik Sidoarjo, Jawa Timur.
Berawal dari Mimpi
Pembuatan kapal berdasarkan ide seorang mantan Angkatan Laut Inggris,
Philip Beale, yang terpukau melihat keindahan relief kapal di Candi
Borobudur ketika ia berwisata ke candi tersebut sekitar tahun 1985. Lalu
ia bekerjasama dengan arsitek berkebangsaan Australia, Nicolas
Burningham serta seorang nelayan Madura yang sangat berpengalaman dalam
pembuatan kapal, As’ad Abdullah. Nelayan kelahiran tahun 1934 itulah
yang kemudian memimpin tim pembuatan kapal yang dimulai pada tanggal 20
Januari 2003 dan diturunkan ke air pada tanggal 26 Mei 2003. Pemasangan
cadik dilakukan tanggal 11 Juni 2003 dan diresmikan oleh I Gede Ardhika,
Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, bersama UNESCO di Pelabuhan Benoa
Bali pada tanggal 15 Juli 2003.
“Ekspedisi jalur kayu manis dimulai tanggal 15 Agustus 2003 di
Jakarta dengan melewati rute Indonesia, Seychelles, Madagaskar, Cape
Town, dan berakhir di Ghana tanggal 23 Februari 2004,” terang
Murtiningsih (44), seorang receptionist Museum Kapal, sambil mempersilahkan pengunjung untuk mengisi buku tamu.
Dalam pembuatannya, Samudraraksa menggunakan tujuh jenis kayu dengan
ukuran panjang 18,29 meter, lebar 4,25 meter, dan tinggi badan kapal
2,45 meter tanpa dilengkapi mesin. “Saat digunakan dalam ekspedisi,
kapal ini tidak menggunakan mesin tapi hanya mengandalkan layar dan
dayung,” papar receptionist yang merangkap sebagai tour leader itu.
“Ekspedisi ini dipimpin oleh nahkoda yang berasal dari TNI Angkatan
Laut yaitu kapten Putu Sadana dengan total ABK (anak buah kapal) adalah
27 orang, tapi karena kapasitasnya hanya 16 orang maka selalu dilakukan
pergantian ABK di setiap negara yang disinggahi,” tambah pegawai paruh
baya itu.
Setelah sukses menjalani ekspedisinya, Samudraraksa dibongkar dan
dikirim kembali ke Indonesia untuk kemudian dirakit kembali dan
ditempatkan di Museum Kapal Borobudur yang diresmikan tanggal 31 Agustus
2005 oleh mantan Menko Kesra, Alwi Sihab. Sementara itu
operasionalisasinya dimulai tanggal 16 September 2005 sampai sekarang
dibuka gratis untuk umum.
“Yeaachhh… Samudraraksa keeping alive the spirit of Indonesian maritime cultural heritage,” ungkap Telma Castro Silva (23), wisatawan asing yang sedang berlibur di Candi Borobudur. “Samudraraksa also presenting the glorious age of Indonesian maritime culture,” tambah bule berambut pirang tersebut dengan kekaguman yang terpancar dalam senyumnya yang lebar,
Komentar
Posting Komentar