REDUPNYA SANG HANTU LAUT

Pada masa Orde Baru, sinar KKO yang sempat begitu cemerlang agak sedikit redup. Sayangnya, ini terjadi bukan karena kemunduran kualitas atau kegagalan dalam misi penugasan. Meredupnya KKO justru disebabkan hal eksternal: Politik. Gejolak politik yang terjadi pada masa-masa itu, melebar ke berbagai dimensi kehidupan, termasuk militer.  Tercatat, berbagai kesatuan dari berbagai angkatan pernah menjadi korban dari gonjang-ganjing politik pada masa-masa itu. Resimen Pelopor, misalnya, pasukan para komando asal Brimob ini barangkali merupakan pasukan yang menerima pukulan paling telak. Sementara itu, KKO meski menerima imbas dari gonjang-ganjing yang terjadi saat itu, namun nasibnya tidak begitu mengenaskan.  

Banyak kalangan berpendapat bahwa penyebab utama dari kemunduran KKO ini adalah kedekatan dengan Presiden Soekarno dan sangkut paut kesatuan ini dengan Gerakan 30 September. Namun, fakta di lapangan menunjukkan jika KKO justru merupakan pasukan yang memberi banyak bantuan pada masyarakat dan juga dalam penanggulangan G 30 S. Sekedar  contoh, KKO-lah yang mengantar Yohana Sunarti Nasution–istri Jendral A.H. Nasution–ke rumah sakit untuk mengobati putrinya Ade Irma Suryani Nasution.

Saat itu, tanggal 1 Oktober 1965 pagi hari, Yohana singgah ke markas KKO di Prapatan ketika hendak mengantarkan putrinya, Ade Irma Suryani Nasution, yang terluka parah menuju RSPAD. Mengetahui ini, para perwira jaga di Markas KKO segera memberikan pengawalan pada Yohana dan putrinya. Sementara itu, mengetahui bahwa Nasution selamat dan tengah bersembunyi tidak jauh dari rumahnya, satu regu KKO pun berangkat menuju kediaman Nasution dengan menggunakan panser, untuk menjemput jenderal tersebut. Nasution segera keluar dari persembunyiannya ketika mengetahui kedatangan prajurit KKO.

Selain peristiwa tersebut di atas, para personel KIPAM KKO juga dipercaya melakukan pengangkatan jenazah para Jenderal AD dari sebuah sumur tua di Lubang Buaya –seperti yang kita ketahui bersama para jenderal korban penculikan ini  dibunuh lalu jasadnya dimasukkan ke sebuah sumur tua.[1]

Sementara itu, tudingan bahwa KKO terlibat dalam G30S rasa-rasanya kurang tepat. Ketika peristiwa tersebut terjadi, sebagian besar kekuatan KKO yang ada di Jakarta tengah ditugaskan ke perbatasan Malaysia dalam rangka Konfrontasi Dwikora–pasukan KKO yang ada di Jakarta adalah siswa-siswa KKO yang kebetulan tengah bersiap menghadiri HUT TNI 5 Oktober 1965.  Namun mengingat bahwa peristiwa yang terjadi pada masa-masa itu benar-benar pelik, maka tentu saja dibutuhkan upaya yang serius dan tekun untuk membeberkannya secara gamblang.

Dalam hal ini, apa yang terjadi pada KKO dan banyak kesatuan lain adalah sebuah akibat dari perseteruan politik yang tidak bisa diantisipasi sehingga melibatkan para prajurit yang justru seharusnya netral. Tarikan-tarikan politis seperti ini sangat berbahaya jika terjadi dalam tubuh militer. Dengan sumber daya yang mereka miliki, militer akan menjadi pihak yang sangat berbahaya jika terlibat dalam kegiatan dukung mendukung suatu aliran atau tokoh politik tertentu. Tugas militer yang paling utama adalah melindungi negara dan rakyatnya, begitu pula kesetiaan mereka harus diberikan kepada negara dan rakyat.

Namun sayangnya, di masa penuh perseteruan tersebut, militer tidak bisa lepas dari tarik menarik politis semacam itu. Maka, kemudian yang muncul adalah angkatan tertentu berpihak pada tokoh atau aliran politik tertentu, sementara angkatan lain muncul sebagai penentangnya. Inilah yang terjadi pada militer Indonesia, termasuk KKO.

Lazim dinyatakan, dan memang diakui sendiri oleh para tokohnya, bahwa KKO adalah kesatuan yang sangat dekat dan bahkan berpihak pada Soekarno. Di tubuh kesatuan ini terdapat banyak prajurit yang dengan terang-terang mengaku sebagai pendukung presiden pertama tersebut.   Bahkan, panglima KKO waktu itu, R. Hartono, dikenal memiliki hubungan sangat dekat dengan Soekarno. Namun ini, tidak berarti bahwa sang panglima terlibat atau bahkan menjadi dalang dari kekacauan yang terjadi pada tahun 1965. Tuduhan keterlibatan sang panglima dengan mendasarkan  pada ucapannya yang terkenal Putih kata Presiden Soekarno, putih pula kata KKO. Hitam kata Presiden Soekarno, hitam pula kata KKO” tampaknya adalah merupakan tafsiran yang berlebihan. Tampaknya, ucapan tersebut adalah metafora akan kesetiaan pada presiden, sebagai institusi bukan Soekarno secara personal, yang merupakan panglima tertinggi angkatan bersenjata seperti yang disebutkan dalam undang-undang kita. 
Kekacauan politik dan kejadian berdarah di seputar tahun 1965 tampaknya membuat orang tidak bisa secara jernih menafsirkan loyalitas KKO. Dukungan kepada panglima tertinggi angkatan bersenjata yang ditunjukkan oleh KKO secara semena-mena dipelintir menjadi dukungan terhadap Soekarno sebagai individu. Ini mengakibatkan berbagai pretensi negatif mengarah kepada kesatuan satu ini.  

Kesalahan penafsiran ini semakin diperparah dengan adanya kecenderungan untuk mengaburkan makna antara para pendukung PKI dan pendukung Soekarno. Ada upaya-upaya tertentu yang menjadikan kedua hal yang sangat jelas berbeda itu menjadi sama. Alhasil, ini berakibat sangat tidak nyaman bagi para pecinta Soekarno karena kemudian diidentikkan sebagai pendukung PKI.

Kekacauan seperti ini tidak hanya terjadi pada masyarakat biasa. Bahkan, petinggi TNI AL sendiri pun tidak luput dari kekeliruan semacam itu. Laksamana Soedomo, misalnya, pernah menyatakan bahwa di tubuh Angkatan Laut banyak sekali yang terlibat G 30 S. Dalam hal ini, Soedomo tidak bisa  membedakan mana orang yang terpengaruh dan mendukung pemikiran PKI dan mana yang mendukung Soekarno sebagai pemimpin Besar Revolusi. Sudomo menganggapnya sama.

Suatu kali, dalam sebuah percakapan tentang PKI, Soedomo berkata berkata pada Soemitro yang saat itu menjabat sebagai Pangkopkamtib. “Wah Mit, banyak sekali yang terlibat di dalam Angkatan Laut.” Lalu Soemitro menjawab, “Dom, kalau kau bersihkan semuanya, habis Angkatan Laut.” Sumitro lalu mengambil kebijakan yang intinya tetap mendukung Orde Baru dengan cara yang lebih jernih. Seperti yang dikatakannya:

Saya mengambil kebijakan untuk melakukan pemisahan. Yaitu memisahkan antara yang benar-benar PKI dan yang mendukung Bung Karno saja. PKI tidak bisa kita ampuni. Mereka harus keluar dari Angkatan Bersenjata dan departemen-departemen. Tetapi pendukung Bung Karno kita saring, ada yang tetap bisa dipakai di tempat asal, ada yang dipindahkan, dan yang membangkang tentu ditindak.”[2]
            Dalam hal ini, pembersihan tidak hanya dilakukan di tubuh AL dan AU saja. Tokoh Angkatan Darat juga tidak luput dari kebijakan ini. Mayor Jenderal Suadi, misalnya, adalah salah satu pati Angkatan Darat yang menjadi korban. Saat itu, tidak lama setelah G 30 S terjadi, Suadi yang kala itu menjadi Duta Besar RI di Etiopia, mengirimkan pesan kawat ke seluruh Kedutaan Besar RI di seluruh dunia–himbauan untuk jangan terlalu cepat menyalahkan siapa pun atas peristiwa yang baru saja terjadi. Maksudnya, untuk menghindari fitnah dan tidak memperkeruh keadaan. Namun,  karena isu ini sangat sensitif, akhirnya Suadi malah kena fitnah. Dia dianggap menjadi bagian dari gerakan, padahal Suadi berada jauh dari Jakarta. Suadi dianggap menciptakan keragu-raguan banyak pihak yang bersangkutan dengan kejadian G 30 S. Suadi, juga yang lainnya dituntut untuk beranggapan bahwa G 30 S adalah bagian strategi PKI–yang katanya akan merebut kekuasaan.[3] 

Kisah Suhario Padmodiwiryo lain lagi. Lelaki yang biasa dijuluki Hario Kecik ini menjadi Pangdam Mulawarman saat konfrontasi dengan Malaysia didengungkan. Ketika Presiden Soekarno jatuh, ia pun ikut jatuh dan dituduh berhaluan kiri. Sialnya, ketika G 30 S pecah, ia tengah berada di Moskow untuk melanjutkan studi di Sekolah Militer di Suworov. Ia pun dicekal. Pada tahun 1977, ia kembali ke Indonesia, namun begitu tiba di Bandara Halim Perdanakusuma ia langsung ditahan di Rutan Militer selama empat tahun tanpa pernah mengalami proses pengadilan. “Ini memang metode Soeharto,” ungkapnya.

Semua orang yang diduga kiri dia (Soeharto) tangkapi semua. Zonder proses. Berapa ribu sudah orang yang mengalami hal ini tanpa melalui pengadilan? Soeharto bersikap ganda sejak dulu. Double standard sudah jadi wataknya. Semua orang yang tidak pro ke dia, atau tidak dia butuhkan, digasak.”[4]
Tahun 1968, Hartono selaku Komandan Jenderal KKO diberhentikan secara halus. Secara mengejutkan Hartono dijadikan Duta Besar (Dubes) di Pyongyang, Korea Utara. Namun, Hartono tidak lama menjadi Dubes RI untuk Korea Utara di Pyongyang–menggantikan Ahem Erningpraja. Dia dipanggil pulang lalu terdengar kabar dia bunuh diri. Santer terdengar isu yang mengatakan bahwa bekas Komandan Jenderal KKO itu sengaja dibunuh.[5] Sebelum Hartono meninggal, pihak intelijen (orde baru) menyatakan Hartono terlibat G 30 S. Lantas intelijie membuat laporan dan ketika laporan sedang disusum, Hartono dipanggil Soemitro, kebetulan Hartono sedang berada di Jakarta. Menurut Soemitro, Hartono merasakan apa yang akan terjadi pada dirinya dengan pemanggilan itu.[6]
Kematian Hartono tergolong misterius dan kurang terekspos. Menurut sumber pemerintah, kematian Hartono akibat bunuh diri. Ironisnya, beberapa pejabat Angkatan Laut seperti Letnan Jenderal Ali Sadikin dan Laksamana Madya Rachmat Sungkar membantah keras bila Hartono bunuh diri. Korban ditemukan oleh ibu kandungnya dalam keadaan berlumuran darah di lantai kamarnya karena tembakan peluru di bagian belakang kepala. Pistol–yang menurut pemerintah digunakan untuk bunuh diri–ditemukan tergeletak di dekat korban. Otopsi yang dilakukan di RSAD Gatot Subroto, dan bukan di RS Cipto Mangunkusumo atau di RSAL, memberi kesan bahwa kasus ini direkayasa dan ditutupi pemerintah. Akhirnya, Hartono dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata pada 7 Januari 1971.[7]

Hartono dibunuh orang tidak dikenal yang mendatangi rumahnya ketika masih subuh. Menurut pemerintah pusat, seperti juga yang didukung oleh Laksamana Soedomo, Hartono bunuh diri karena diduga putus asa atas kegagalannya menjalankan tugas sebagai Dubes RI di Pyongyang, Korea Utara. Keheranan Ali Sadikin dan Rachmat Sungkar semakin bertambah. Mereka tahu bahwa Hartono tidak divisum oleh dokter dari RSAL atau RS Cipto Mangunkusumo yang terkenal netral. Menurut dua perwira tinggi Angkatan Laut itu, Hartono bukan tipe manusia yang mudah putus asa lalu bunuh diri hanya karena tugasnya gagal sebagai duta besar. 

Selain secara personal, pembersihan dan penyingkiran juga dilakukan terhadap Batalion Infanteri 454 Srondol Diponegoro dan Batalion 530 Brawijaya. Tindakan hanya diambil untuk perwira operasional lapangan saja, sementara prajurit bawahan tentunya tidak mengerti apa-apa soal G 30 S –mereka hanya turut perintah komandan, begitu logika seorang prajurit.

Selama masa pembersihan ini, lebih dari puluhan perwira, ratusan prajurit, serta ribuan rakyat yang tidak tahu menahu tentang G 30 S harus menanggung akibatnya: Disingkirkan dan dipenjarakan tanpa proses pengadilan yang layak. Belum lagi korban yang tidak diketahui oleh umum, mungkin jumlahnya lebih banyak. Dan, pasukan-pasukan militer yang hanya mengikuti jalur komando, akan dijadikan “alat yang tak memiliki kehendak” jika seorang yang ambisius menarik-narik mereka ke dalam lingkaran politik. Bahkan tidak jarang antar kesatuan pasukan komando digunakan oleh kelompok-kelompok politik tertentu yang saling berseberangan, yang berbuntut adanya keterlibatan pasukan khusus untuk mengalahkan lawan politiknya. Peristiwa Kranji pada tahun 1956 yang gagal ketika terjadi konflik internal AD menunjukkan hal tersebut.

Hal lain yang merupakan efek buruk dari penyeretan militer untuk mendukung tokoh atau aliran politik tertentu adalah adu domba dan perpecahan. Ini tentu saja sangat merugikan militer karena selain persatuan tidak solid, kekuatan militer pun menjadi sangat berkurang. Sementara negara dan rakyat, sebagai dua elemen yang seharusnya dilayani oleh militer, menjadi terlantar, dan bahkan turut menjadi korban.  

Akibat berbagai isu, perselisihan yang terjadi antar kesatuan semakin melebar, dalam hal ini pertentangan yang terkenal adalah antara KKO dan prajurit-prajurit AD. M. Yasin–waktu itu adalah Panglima Kodam Brawijaya– pernah menerima pertentangan dan cacian dari sekelompok prajurit KKO. Ini tentu sangat tidak menyenangkan bagi Yasin yang harusnya disegani karena kedudukannya sebagai panglima. Yasin, yang juga salah membedakan antara  pro Soekarno dan PKI, menjadi sensitif terhadap ulah para prajurit tersebut. Suasana Jawa Timur memanas. AD berseteru dengan KKO. Yasin mengaku,
Bahwa pernah terjadi pada pertengahan tahun 1967, saya dihina oleh pasukan KKO. Waktu itu beberapa truk membawa mayat seorang PNI-ASU dengan dikawal beberapa prajurit KKO yang melewati depan rumah saya. Mereka meneriakkan yel-yel “Panglima Jenderal Yasin Tahi! Panglima Jenderal Yasin Tahi!”. Saya mendengar teriakan tersebut, lalu keluar. Pasukan pengawal yang berusaha bertindak saya cegah. Komandan Korem saya, Acub Zainal yang mendengar berita (itu) juga sangat marah dan tak bisa menerima panglimanya dihina. Ia menghadapinya dengan berpijak pada sumpah prajurit. Saya mencegah tindakan Acub, dan saya katakan bahwa besok saya akan mengundang semua Panglima AL dan Panglima KKO yang ada di Surabaya.

Saya langsung mengambil kebijakan, pada pertemuan esoknya yang dihadiri oleh Panglima AL, Panglima Armada, Komandan AL dan KKO. Saya katakan bahwa kemarin telah terjadi penghinaan terhadap Panglima Brawijaya. Saya peringatkan dengan keras kepada mereka, jika itu terjadi lagi semuanya akan saya serahkan pada Komandan Brigade dan Komandan Korem saya untuk bertindak, dan pasti akan terjadi perang saudara. Akhirnya mereka minta maaf dan tidak akan terulang lagi.

Ketika saya bermain golf di Gunung Sari, yang letaknya dekat dengan Asrama KKO, saya selalu mendapat intimidasi dengan tembakan ke udara. Saya tetap tenang, tetapi di dalam golfbag selalu tersedia stengun otomatis. Saya yakin tembakan itu hanya untuk menakut-nakuti saya. Panglima KKO Hartono yang saya lapori kejadian tersebut, rupanya membela anak buahnya. Dengan berbagai kejadian-kejadian di atas, saya segera melaporkan ke Markas Besar AL Jakarta menemui Letnan Jenderal KKO Hartono. Saya katakan bahwa jika KKO tetap bertahan dengan keyakinan mereka, “Jika Bung Karno Hitam maka KKO hitam dan jika Bung Karno Putih maka KKO putih” maka akan terjadi perang saudara. Dulu KKO dekat dan akrab dengan Bung Karno. Bahkan mereka pernah berencana membawa Bung Karno untuk dibawa ke Markas mereka di Cilandak. Belakangan diketahui bahwa banyak orang KKO terlibat dalam rencana tersebut.”[8]
Kemudian perang dingin antara AD dengan KKO di Jawa Timur mulai mereda setelah Yasin membuat kesepakatan dengan Panglima Daerah Maritim V Laksamana Suyatno untuk memenangkan Orde Baru dan menghantam segala kekuatan yang mengembalikan kekuasaan Soekarno. Setelah KKO di Surabaya diatasi AD, maka organisasi pendukung Soekarno mulai dihantam di Surabaya.[9]

Salah paham dan kekeliruan ini terus berlanjut sehingga merugikan pihak-pihak yang dianggap sebagai seteru. Pada periode 1971-1980, misalnya, bertepatan dengan memanasnya suasana politik di Timor Timur, Korps Marinir kedudukan KKO AL diubah sebagai Badan Pelaksana Pusat tingkat Markas Besar TNI AL dengan sebutan PUSKKO AL. Hal ini disesuaikan RENSTRA HANKAM I tahun 1974-1978 bidang TNI AL. Ini berarti, struktur organisasi KKO atau Marinir disederhanakan.

Berikutnya, beberapa Batalion KKO di Jakarta dan Surabaya dilikuidasi. Batalion-batalion tersebut adalah Batalion 6, 8, dan 10 yang ada di wilayah barat (Jakarta) serta Batalion 7 dan 9 di wilayah timur (Surabaya). Anggota-anggota Batalion yang terkena likuidasi tersebut selanjutnya ditempatkan di batalion lain yang masih berdiri. Sebagian lagi ditempatkan di Depo Transit dan di lembaga-lembaga pemerintahan lainnya di wilayah barat dan timur.[10]
Sementara itu, prajurit KKO banyak yang dialihkan ke instansi lain seperti Dinas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya (DLLAJ), salah satunya adalah DLLAJ Jakarta Raya.[11] Dinas ini begitu diperlukan oleh Kota Jakarta yang mulai mengalami perkembangan pada masa pemerintahan Letnan Jenderal (Purn) KKO Ali Sadikin. Di masa itulah nama KKO berubah nama menjadi Korps Marinir. Nama yang pernah mereka pakai meski dalam ejaan yang berbeda.
Pada pertengahan dekade 1970, sebagai Komando Utama (Kotama) Fungsional TNI AL, Korps Marinir membentuk Komando Pelaksana (KOLAK) yang terdiri atas 2 Pasukan Marinir di Pasmar I di Jakarta dan Pasmar II di Surabaya, lima batalion infanteri (Marinir Infanteri atau Marif), 10 Batalion Senjata Bantuan (Yonsenban), satu kesatuan Marinir Latih (Marlat), satu kesatuan Marinir Keamanan Pangkalan (Markamlan), dan dua Marinir Administrasi Logistik (Marminlog) di Jakarta dan Surabaya.

Tanggal 1 Januari 1979, sesuai Renstra Hankam III 1979-1983, Marinir memiliki kekuatan dua resimen yang berada di Jakarta dan Surabaya. Masing-masing resimen terdiri atas 3 batalion infanteri: Satu resimen bantuan tempur (Menbanpur) yang terdiri dari 5 batalion bantuan tempur dan satu Resimen Bantuan Administrasi yang terdiri dari lima batalion bantuan administrasi (Yonbanmin), serta satu resimen latih dan dua depo administrasi logistik (Dominlog) masing-masing di Jakarta dan Surabaya.[12]

Pada masa Orde Baru ini, orientasi pengembangan pertahanan yang lebih mengutamakan pengembangan pertahanan darat, seolah menjadikan Marinir sebagai anak tiri. Dari perubahan struktur, dapat dilihat jumlah batalion satuan infanteri Marinir berkurang drastis. Sebenarnya, ini sangat ironis mengingat Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang membutuhkan kekuatan laut handal.

Selain dipangkas secara struktural, perlengkapan dan persenjataan Marinir pun banyak berkurang tidak seperti pada masa sebelumnya. Persenjataan-persenjataan tua tidak diganti dengan yang lebih baik sehingga Marinir atau Angkatan Laut tidak bisa bekerja secara optimal. Padahal dibutuhkan, sumber daya besar untuk menjaga seluruh kekayaan bangsa ini yang berada di lautan, yang lebih penting dengan armada yang laut yang kuat, bangsa ini dapat mendirikan kedaulatannya atas negara lain.   


referensi
[1] Junaedi dkk, op. cit.,  hlm. 256-258.
[2] Ramadhan K.H, Soemitro: Dari Pangdam Mulawarman Sampai Pangkopkamtib, Jakarta, Pustaka Sinar harapan, 1994, hlm. 228.
[3] Ibid., hlm. 238-239.
[4]  Wawancara wartawan Tempo, Dwi Arjanto & Robin Ong, dalam Tahun Depan Dwi Fungsi TNI Sudah Dihapus, Majalah Tempo Online, 27 Desember 1999.
[5] Asvi Warman Adam, op. cit., hlm. 243-244.
[6] Ramadhan K.H, op. cit., hlm. 239.
[7] Pembunuhan Letjen (KKO) Hartono http://petromaks.wordpress.com/2006/02/page/2/  Diakses 16 September 2007 pukul 16.40.
[8] Nurinwa Hendrowinoto (penyunting), M. Yasin. Saya Tidak Pernah Minta Ampun Kepada Soeharto (Sebuah Memoar), Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1998, hlm  68-69.
[9] Ibid., hlm. 69-70.
[10] Junaedi dkk, op. cit., hlm. 266-268.
[11] Pengakuan Hario Prasetyo (Tangerang, 17 April 2010)
[12] Junaedi dkk, op. cit.,  hlm. 266-268.

Sumber : Buku Hantu Laut KKO Marinir Indonesia

Komentar

Posting Komentar