PAHLAWAN

“Perjuangan dari seorang manusia adalah perjuangan melawan lupa…” (Milan Kundera) begitu bunyi penggalan kalimat dari salah satu novelis terkenal dari Rep.Ceko.
Pahlawan bagi mereka seperti sebuah masa lalu. Ia ada hanya untuk dirayakan sesaat kemudian dilupakan lagi.Begitu seterusnya. Setidaknya itu yang saya pikirkan ketika suatu sore yang ranum, saya berdiri di depan sebuah tugu kecil di depan sebuah rumah besar di Kota Batu Malang Jawa Timur beberapa hari yang lalu dengan kondisi “babak belur” oleh coretan-coretan sekelompok “jagoan muda”. Padahal, 70 tahun lalu di sini adalah tempat para serdadu Belanda menembak mati seorang pejuang tanah tumpah darah.
Apa yang dipikirkan oleh si pemilik rumah besar atau anak-anak muda itu? Atau apa yang dipikirkan oleh orang2 kota itu yang tiap hari melewati tugu kusam tersebut? Sepertinya tak ada. Mungkin bagi mereka, tugu itu tak lebih hanya seonggok batu bata laiknya trotoar, jalan aspal dan ketidakingintahuan kronis yang mereka idap sepanjang sejarah hidup.
Ya memang tak ada yang ingin tahu. Termasuk sekelompok anak2 muda yang saya temui tengah berkumpul di sebuah gang yang tak jauh dari tugu itu berada. Mereka hanya tersenyum. Menggeleng dan sebagian terlalu asyik dengan perangkat-perangkat canggih mereka, berkomunikasi dengan seorang teman yang mungkin jaraknya hanya sepelemparan batu.
Tapi saya yakin semua kemasabodohan kronis itu tak memiliki pengaruh apa2 untuk sang pejuang. Saya ingat sebuah adegan dalam Lion of the Desert, ketika pejuang bangsa Libya, Omar Mochtar akan menemui kematian di tiang gantung. Graziani,jenderal Italia yang bengis, mengejeknya dengan sebuah pertanyaan: “ Apa yang akan kau lakukan dengan melawan tank-tank dan senjata-senjata hebat kami?” Mochtar menjawabnya dalam nada lirih namun tegas: “Yang paling penting kami telah melawan! Yang paling penting kami telah membuktikan kepada generasi setelah kami bahwa kami bukan bangsa pengecut dan melupakan warisan leluhur kami!”
Hari ini di depan tugu kusam itu, saya ingin kembali bertanya kepada diri saya dan kepada anda semua: Bukankah hari2 ini kita justru yang telah melupakan mereka? Bukankah hari2 ini kita selalu memperlihatkan sikap pengecut, dengan bersikap tak mau tahu tentang apa yang terjadi dengan leluhur kita? Persis seperti kata ayahku : “Sejarah selalu berulang untuk dilupakan oleh seorang yang tak tahu malu….

Komentar